Done ya ^^
Nb : Maaf kalo gk sesuai sama kelamaan buatnya >,<
Take with credit : Aikwan_Daegi @ Story Poster Zone
14 Saturday May 2016
Posted Aikwan_Daegi, Artworker, GALLERY, POSTER COLLECTION, Request Poster
inDone ya ^^
Nb : Maaf kalo gk sesuai sama kelamaan buatnya >,<
Take with credit : Aikwan_Daegi @ Story Poster Zone
28 Thursday Apr 2016
Posted Aikwan_Daegi, GALLERY, POSTER COLLECTION, Request Poster
inDone ya kak ^^
Nb : Maaf kalo gk sesuai sama kelamaan buatnya >,<
Maaf kalo ini lebih ke soft T_T
Take with credit : Aikwan_Daegi @ Story Poster Zone
18 Monday Jan 2016
Posted Aikwan_Daegi, Artworker, GALLERY, POSTER COLLECTION, Request Poster, Uncategorized
inDone ya chingu ^^
Nb : Maaf kalo gk sesuai dan luaammaaaa banget…
Take with credit : Aikwan_Daegi @ Story Poster Zone
Jangan bosen request di sini ya 😉
19 Saturday Dec 2015
Posted FANFICTION
in[GG] Lim Yoona & [SJ] Choi Siwon
Genre : Drama, Mystery, Romance | Rating : Parent Guidance | Length : 2,3k.
© 2015 Dhiah MeyLiana
―――
“Ketika kau bertemu dengannya, kenangan yang tersimpan di bawah fikiranmu sekalipun, mereka akan berputar, memaksamu untuk mengingat segalanya. Tidak peduli entah itu kenangan baik atau buruk, pada akhirnya mereka akan kau ingat kembali, meskipun hal itu tidak pernah kau inginkan.”
―Calistha Lim―
BAB IV
FATHER, LOVE, AND REVENGE
“Yoona sudah menguasai hampir keseluruhan dari tubuh ini, jadi aku mulai berfikir jika akan sangat sulit bagimu untuk muncul kembali. Hanya itutulah yang selama ini kukhawatirkan, Calistha. Dia selalu datang padaku dan mengancam ingin membuatmu menghilang dari dunia ini selamanya. Kenapa kau lama sekali muncul, sayang? Aku benar-benar takut jika Yoona telah menguasai tubuhmu sepenuhnya.”
Tubuh wanita itu masih saja bergetar bahkan saat Calistha kini telah merengkuhnya, membawanya ke dalam pelukan hangat yang menangkan. Wanita yang tengah berada dalam pelukannya saat ini telah dianggapnya sebagai ibu kedua baginya. Karena bagaimanapun juga, hanya wanita itu jugalah yang mengetahui setiap permasalahan Calistha. Sejak pertama kali gadis itu mendapatkan masalahnya, wanita itu yang mengetahuinya.
“Aku minta maaf karena telah membuatmu takut. Aku sama sekali tidak bermaksud untuk mengancam nyawamu, dokter.”
Wanita itu mengangguk kemudian melepaskan pelukannya dan beralih menatap mata damai Calistha. “Temukanlah cara apapun agar kau bisa menjauhkannya. Aku akan melakukan apa saja untuk membuat Yoona tertidur selamanya, dengan begitu kau tidak perlu merasakan ketakutan lagi, sayang.”
Calistha tersenyum hangat dan semakin menggenggam erat tangan dokter Moon. “Aku ingin melakukannya. Tapi tidak untuk sekarang.”
“Dia terlalu berbahaya, Calistha. Dia akan melakukan apa saja untuk menyingkirkanmu jika suatu saat nanti ia memiliki kesempatan untuk melakukannya. Dan apa kau tidak khawatir pada ibumu? Yoona begitu membencinya, sayang. Dia membenci setiap orang yang berusaha melindungimu.”
“Ayah tidak pernah memberikan kasih sayangnya padaku, karena itulah Yoona hadir sebagai bagian dari diriku. Karena dia, akhirnya aku bisa merasakan kasih sayang dari ayah. Aku―tidak bisa membunuhnya begitu saja. Jika aku membunuhnya, itu artinya aku akan membunuh kenanganku bersama ayah.”
Dokter Moon menangis ketika menatap mata Calistha yang begitu sarat akan kepedihan. Ia benar-benar ingin membantu gadis itu menghilangkan kesakitannya karena ia tahu jika Calistha benar-benar telah mengalami kehidupan yang begitu sulit. Meskipun begitu, dokter Moon masih tidak bisa melakukan apa-apa sejak ia tahu jika Calistha ingin mengingat kenangan bersama ayahnya, meskipun harus melalui pribadi dingin dan kejam dari seorang Lim Yoona.
**
“Nona muda Calistha telah kembali, presdir.”
Nyonya Lim terkejut dengan apa yang dikatakan sekretaris Kim. Posisinya yang semula tengah melihat kondisi kota Seoul dari kaca ruangan kantornya seketika saja teralihkan. Ia menatap lelaki di hadapannya itu dengan ekspresi bahagia yang begitu jelas tergambar dari wajah tegas namun penuh kelembutan itu.
“Siang tadi, nona muda datang mengunjungi departemen tempat dokter Moon mengajar. Bahkan sebelum datang mengunjungi dokter Moon, nona muda telah lebih dulu mengunjungi sebuah café yang tidak jauh dari rumah sakit Hanjin. Namun, beliau hanya berdiri di sana selama hampir setengah jam tanpa melakukan apa-apa. Nona muda bahkan berdiri di luar café, di tengah lebatnya hujan salju.”
“Apa itu benar-benar Calistha? Putriku Calistha Lim?”
Sekretaris Kim mengangguk dengan yakin. “Ini adalah kesempatan anda untuk bertemu dengan beliau kemudian mendiskusikan cara bagaimana menghilangkan pribadi nona Yoona dari dalam diri nona muda.”
Nyonya Lim benar-benar senang mendengarnya, setelah delapan tahun lamanya Calistha akhirnya muncul kembali. Dengan begitu, kekhawatiran yang selama ini ada dalam benaknya mungkin dapat dihilangkannya. Ini adalah sebuah kesempatan yang tidak bisa dilewatkannya begitu saja. Ia akan kehilangan Calistha jika saja di kesempatan kali ini ia kembali gagal.
“Atur pertemuanku dengan dokter Moon selesai rapat nanti.” Sekretaris Kim mengangguk kemudian bergegas keluar dari ruangan Nyonya Lim setelah sebelumnya ia membungkukkan badannya sebagai bentuk hormatnya pada sang direktur.
Tidak lama setelah kepergian sekretaris Kim, wanita itu kembali melihat hamparan kota Seoul melalui kaca ruangannya. Tatapannya berubah sedih hingga membuat matanya terlihat berkaca-kaca. “Aku juga menyayangimu, Yoona. Tapi aku harus melindungi Calistha dengan cara membuatmu tertidur untuk selamanya. Saat aku berhasil melakukannya, aku akan mengakui semua kesalahanku pada putriku, Calistha.”
Jhwesonghamnida, yeobo-ya…Jeongmal jhwesonghamnida..
Aku minta maaf karena aku telah begitu menginginkan Yoona menghilang dari kehidupanku.
**
Aku juga ingin menghilangkanmu dari dalam diriku, Yoona.
Tapi jika aku benar-benar melakukannya,
maka kau pasti tidak akan meninggalkan sedikit saja kenangan bersama ayah padaku.
Aku benar-benar iri padamu, Yoona.
Hingga rasanya aku ingin membentuk pribadi baru.
Kepribadian yang tidak pernah merasakan kesakitan.
Kepribadian yang akan sama-sama membuat kita bahagia.
Di mana dia akan mencintai ayah dan juga ibu.
Kau sepenuhnya benar, Yoona.
Aku hanyalah pribadi lemah,
yang hanya bisa memanfaatkanmu untuk mengingat kenangan bersama ayah.
Calistha berjalan sembari menundukkan kepalanya, memandangi ujung sepatu ketsnya dengan mata berkaca-kaca. Perasaan sedih kembali menghinggapinya, membuat sebuah luka baru yang sulit untuk disembuhkan. Di saat seperti ini, keinginannya untuk menjadi satu dengan Yoona kembali diinginkannya. Calistha merasa egois karena ia begitu menginginkan semua kenangan yang dimiliki Yoona menjadi miliknya.
“Itu tidak akan pernah terjadi. Kenanganku tidak akan menjadi milikmu,begitupun sebaliknya. Teruslah bermimpi, Calistha Lim. Aku senang melihatmu semakin dalam kesakitan.”
Gadis itu menghentikan langkahnya kemudian segera menatap sekelilingnya. Lututnya begitu terasa lemas ketika suara dingin itu tiba-tiba saja terdengar olehnya. Ini tidak mungkin terjadi. Yoona tidak bisa melakukan hal ini padaku. Calistha menjerit dalam hati, berusaha untuk melenyapkan segala kemungkinan yang saat ini tengah dipikirkannya.
“Kau tidak bisa meremehkannya, Calistha. Jika suatu saat nanti pribadi Yoona muncul saat kau memiliki tubuh ini, itu artinya kesempatanmu untuk memiliki tubuh ini mungkin tidak akan ada lagi. Pikirkanlah dengan baik, sayang. Aku mohon..lakukan ini demi dirimu sendiri. Jangan pernah biarkan Yoona hidup dengan perasaan dendam yang tidak pernah ada akhirnya..”
Perasaan takut yang teramat kini tengah dirasakannya ketika secara tidak sengaja gadis itu mengingat perkataan terakhir dokter Moon sebelum dirinya meninggalkan rumah sakit. Beberapa detik kemudian, gadis itu menangis, tubuhnya bergetar dengan hebat manakala ia melihat cerminan dirinya sebagai Yoona pada sebuah kaca toko yang saat ini tepat berada di hadapannya. Yoona―gadis itu kini tengah menatapnya dengan tatapan mengejek yang sarat akan kebencian.
**
Donghae menyenderkan punggungnya di salah satu sofa yang berada di dalam ruangan Yoona. Sejak keluar dari ruang rapat beberapa jam yang lalu, lelaki itu memutuskan untuk menunggu kedatangan Yoona di ruangannya, meskipun ia sendiri tidak yakin apakah gadis itu akan datang atau tidak.
“Oh, ayolah Yoona. Kau tidak biasanya seperti ini.”
Ponsel yang ada dalam genggamannya itu sedari tadi hanya di putar-putarnya. Sudah hampir sepuluh kali ia mencoba untuk menghubungi Yoona namun tidak ada satupun dari panggilannya yang berhasil mendapatkan respon dari gadis itu. Panggilanya selalu tersambung namun tidak pernah di jawab oleh gadis itu. Yang didengarnya hanyalah suara operator yang pada akhirnya menyuruhnya untuk meninggalkan pesan suara. Menyebalkan!
“Apa kau akan tetap diam di sana tanpa berniat untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat pada pasienmu?”
Tiba-tiba saja Donghae teringat perkataan Yoona sekaligus ekspresi gadis itu ketika dulu Yoona memergoki Donghae yang hanya duduk bersila di ruangannya tanpa melakukan apapun. Donghae menghela napasnya dengan kasar kemudian bergegas bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan Yoona.
**
“Annyeong hasimnikka, seonbae-nim…” Tiffany memutuskan untuk segera menyapa Donghae kemudian membungkukkan badannya dengan sopan. Bisa dikatakan ini adalah sapaan pertama Tiffany pada pria itu. Bukan karena mereka tidak saling mengenal satu sama lain, hanya saja Donghae merupakan salah satu dokter terbaik di rumah sakit Hanjin yang baru bekerja tujuh minggu yang lalu. Bersamaan dengan diangkatnya Lim Yoona menjadi direktur utama Hanjin International Hospital.
Donghae menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang. Tidak lama setelah ia melihat wajah dari sosok yang baru saja memanggilnya, sekelebat ingatan tiba-tiba saja muncul hingga akhirnya berhasil menciptakan garis kerutan pada keningnya.
Saat itu Donghae tengah berada di kamar Yoona untuk mengambil sebuah dokumen yang dibutuhkan oleh dokter Kim. Yoona yang kebetulan tengah sibuk dengan pekerjaannya memutuskan untuk menyuruh Donghae sendiri yang pergi mencarinya. Ketika Donghae telah mendapatkan dokumen yang ia butuhkan, segera ia putuskan untuk keluar dari kamar Yoona. Namun, ketika tubuhnya hampir mencapai pintu, secara tidak sengaja kedua matanya menangkap selembar foto yang tergeletak di lantai dekat nakas meja rias Yoona yang kebetulan terletak tak jauh dari pintu kamar.
Dengan langkah pelan, Donghae mendekat kemudian berjongkok untuk mengambil foto tersebut. Matanya menyipit dan pria itu sedikit terkejut ketika pada akhirnya ia dapat melihat dengan jelas sosok perempuan di dalam foto tersebut yang terlihat mengenakan jas kedokteran yang berlambangkan rumah sakit Hanjin di bagian kiri dadanya.
Sayangnya, keterkejutan Donghae tidak hanya sampai disitu saja ketika sebait kalimat yang ada di belakang foto tersebut tidak sengaja terbaca olehnya. “Semakin kau membenciku, semakin aku akan mendekatkanmu dengan kesakitan.”
Melihat ekspresi Donghae yang tampak kebingungan, Tiffany kemudian menggerakan tangannya di depan wajah Donghae, berniat untuk mengembalikan kesadaran pria itu.
“Seonbae-nim, anda baik-baik saja?”
Donghae tergagap dan berusaha secepat mungkin mengembalikan kesadarannya yang sempat pergi dari dirinya. “Aku tidak apa-apa, hanya sedikit bingung karena melihatmu.”
“Seonbae-nim pernah bertemu denganku setelah selesai melakukan operasi bersama direktur.”
“Ah yaa…aku ingat denganmu sekarang.”
Pada akhirnya, hanya kalimat itu saja yang keluar dari bibir Donghae, membuat Tiffany tidak tahu lagi harus membicarakan hal apalagi bersama pria itu. “Kalau begitu saya permisi dulu, seonbae-nim. Maaf telah mengganggu waktu seonbae.”
Tiffany tersenyum kaku, membungkukkan badannya dengan sopan kemudian segera pergi meninggalkan Donghae yang masih berdiri di tempatnya. Sejujurnya, ia ingin menanyakan keadaan sang direktur, Lim Yoona. Namun ketika Tiffany merasakan jika tatapan yang Donghae berikan padanya sedikit aneh, dengan segera Tiffany mengurungkan niatnya tersebut.
**
Jiwon hanya bertopang dagu sembari melemparkan tatapan aneh penuh selidik pada salah satu pengunjung café-nya yang tengah menikmati secangkir Caf Au Lait―salah satu jenis kopi yang menjadi minuman tradisional Perancis. Sejak beberapa menit yang lalu, Jiwon menyerahkan pekerjaannya dan hanya memfokuskan dirinya untuk memperhatikan setiap gerak-gerik dari pengunjungnya tersebut.
“Apa mungkin gadis itu adalah kembarannya?”
Jiwon mengerucutkan bibirnya dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal―kebiasannya ketika tengah dilanda kebingungan. Bagaimana tidak? Baru kemarin ia melihat gadis yang saat ini tengah diperhatikannya itu memaki habis-habisan latte art hasil karya kakaknya, mengatakan jika pekerjaan kakaknya memuakkan, dan bla bla bla. Lalu siang tadi, ia melihat gadis itu berdiri di luar café untuk waktu yang cukup lama. Dan sekarang? Ia bahkan baru saja memesan secangkir kopi dengan latte art di dalamnya.
Ini sedikit membuatku kesal! Gadis itu benar-benar tidak terduga.
“Apa yang kau lakukan, hm?”
Jiwon terlonjak kaget begitu mendengar suara dingin sang kakak yang pada akhirnya berhasil membuat bulunya meremang. Gadis berambut sebahu itu berusaha untuk memberikan senyum manisnya sembari mengelus bahu kekar kakaknya.
“Pengunjung sudah lumayan sepi, kakak istirahat saja tidak apa-apa. Alex bisa menggantikan kakak untuk menjadi seorang barista. Kami melakukannya dengan baik. Tenang saja…”
Pria itu menatap tangan Jiwon dengan kesal lantas segera menjauhkan tangan adiknya itu dari bahunya. Detik selanjutnya, tangan Siwon bergerak mengelus puncak kepala Jiwon, atau lebih tepatnya mengacak-acak rambut sang adik, seperti sengaja membuat tatanan rambutnya berantakan. Jiwon mendengus sebal dan memukul pelan bahu kakaknya.
“Kau memang seorang trouble maker sejati, Choi Siwon. Kurasa di dunia ini tidak―”
Jiwon menghentikan ucapannya kala ia menyadari jika Siwon hanya menatap lurus ke depan dengan ekspresi yang sulit terbaca olehnya. Jiwon mengernyit kemudian secara spontan ia memutar kepalanya, ingin mengetahui hal apa yang telah membuat kakaknya itu terlihat begitu fokus.
“Astaga!”
Jiwon terpaksa harus mengalami keterkejutan untuk yang kedua kalinya ketika ia melihat sosok yang dari tadi diperhatikannya kini hanya berjarak beberapa centimeter darinya. Tubuh gadis itu hanya terhalang oleh meja keramik yang biasa digunakan Siwon untuk meracik kopinya.
**
Calistha tersenyum ketika pada akhirnya ia mampu melihat sosok seorang lelaki yang kini tengah mengampiri seorang gadis berambut sebahu yang tidak lain adalah Jiwon. Calista kemudian menyesap kopinya, meletakannya kembali sebelum akhirnya ia berjalan secara perlahan menuju tempat di mana Jiwon dan Siwon sedang berbincang-bincang.
Ketika ia merasa kehadirannya sukses menyita perhatian Siwon, Calistha kembali tersenyum manis. Ia menatap ke dalam mata tajam pria itu dengan setumpuk perasaan sesal dalam hatinya. Menyesal karena baru hari ini ia memiliki kesempatan untuk bertemu dengannya lagi.
“Astaga!”
Calistha tersenyum menatap Jiwon yang terlihat terkejut dengan kehadirannya. Calistha tahu jika sedari tadi gadis itu telah memperhatikannya secara diam-diam, namun ia sama sekali tidak memperdulikannya. Ya, Calistha adalah pribadi yang ceroboh. Dan itu merupakan salah satu dari sekian banyak alasan mengapa Yoona begitu membencinya.
Maafkan aku, Yoona..
Aku harus menjaga Siwon dengan cara ini.
**
Siwon masih sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi. Namun, ia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang tengah ia coba lakukan. Entah mengapa ia merasa begitu sulit mengalihkan perhatiannya dari pemilik mata berwarna hazel brown itu. Tatapannya seolah tengah dikunci mati oleh gadis itu, membuatnya benar-benar tidak bisa mengalihkan pandangannya meski hanya dalam waktu satu detik.
“Kakak…”, Jiwon bergumam kecil ketika ia menyadari jika sosok Calistha kini telah berada tepat di hadapannya. Gadis itu memutari meja keramik, memasuki area dapur mereka.
“Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah aku memintamu untuk tidak berkunjung kemari?”
Posisi Calistha yang saat ini tengah berdiri tepat di hadapannya akhirnya mampu membuat Siwon tersadar dari lamunanya. Pria itu kemudian mengusap wajahnya dengan kasar dan segera mengalihkan pandangannya ke arah lain, tidak ingin lagi menatap kedua manik mata berwarna hazel brown tersebut.
Mendengar nada bicara Siwon yang dingin disertai ekspresi marah, Calistha hanya mampu tersenyum dan menatapnya dengan penuh kelembutan. “Aku kemari untuk meminta maaf padamu…jika suatu saat nanti aku melakukan hal itu kembali, jangan pernah mengusirku dan memintaku untuk tidak datang ke café ini.”
Calistha membalikkan badannya kemudian segera berjalan meninggalkan Jiwon yang masih dilingkupi rasa penasaran dan Siwon yang begitu terlihat tidak perduli dengan apa yang diucapkannya barusan. Perlahan namun pasti, ia melangkahkan kakinya dengan mata yang tampak berkaca-kaca. Langkahnya terasa lemah dan entah mengapa ia merasakan sesak yang teramat di dadanya, membuatnya sulit untuk bernapas.
“Dia memang salah satu alasanku untuk tetap ada di dunia ini, Yoona. Tapi satu hal yang tidak kau ketahui adalah―aku melindunginya karena kau adalah satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas segala perubahan yang terjadi dalam dirinya.”
Calistha menghentikan langkahnya, kembali membalikkan badan dan tersenyum ketika mendapati Jiwon dan Siwon yang ternyata masih melihat ke arahnya. Gadis yang memiliki kaki jenjang itu akhirnya kembali melangkah, mendekati Siwon yang masih saja menatapnya dengan tajam.
“Maafkan aku, Yoona.”
Dan tanpa disadari oleh Siwon, Calistha bergerak mengalungkan kedua tangannya lalu menyapukan bibirnya dengan lembut dan ringan di atas bibir pria itu.
**
Wkwkwkwkwk…
Motongnya di saat yang tidak tepat(lagi)?
Sengaja sih sebenarnya ahahaha..
Supaya makin penasaran..
Dan yaa..semoga kalian masih mendapatkan sisi misteri di cerita ini #maksa wkwkwkwkwk
Okaylah..sampai jumpa di seri kelima yahh^_^
13 Sunday Dec 2015
Posted FANFICTION
in≈ Enter your password to view comments.
12 Saturday Dec 2015
Posted FANFICTION
in[GG] Lim Yoona & [SJ] Choi Siwon
Genre : Drama, Mystery, Romance | Rating : Parent Guidance | Length : 1,6k.
© 2015 Dhiah MeyLiana
―――――
Ada sebuah masa di mana,
dia akan mengingat semua hal yang telah lama dilupakannya..
Memori ingatannya akan berputar dengan sendirinya.
Bagaikan sebuah film dokumentar yang sengaja terlupakan.
Saat di mana hari itu datang,
akankah dia akan menerimanya?
Bahkan ketika kenangan itu akan membuatnya sakit,
akankah dia berani untuk menghadapinya?
Ketika fikirannya mengatakan ia tidak sanggup,
maka aku harus tetap berdiri di sampingnya.
Menopangnya ketika dia akan jatuh.
Hingga suatu masa, pada akhirnya aku akan pergi,
ketika aku merasa dia telah mampu untuk mengatasi yang dideritanya.
BAB II
THE LOST MEMORY
Donghae berusaha mengejar Yoona, langkah gadis itu terlalu cepat hingga membuat Donghae harus terpaksa berlari kecil untuk menyamakan langkahnya dengan gadis berambut blonde tersebut. Jika saja Yoona tidak memutuskan untuk pergi meninggalkan café mungkin Donghae masih setia duduk manis di kursinya sembari menyesap cappuccino miliknya.
“Hei, tidakkah ucapanmu tadi cukup kasar?”
“Lagipula, bukankah itu salahmu sendiri? Wajar jika seorang Choi Siwon marah karena pendapatmu mengenai gambar-gambar itu. Baginya, gambar-gambar itu bukan hanya sekedar gambar yang memuakkan. Dan juga, dia adalah pria yang begitu menyukai seni, Yoona.”
“Yoona, apa kau ingin mengabaikanku begitu saja?”
“Oh, ayolah! Karena kau salah bukan berarti aku menyalahkanmu juga. Aku hanya mengatakan sesuatu yang harusnya kukatakan padamu. Aku hanya takut kau akan terkena masalah jika terus menerus seperti ini.”
“Yoona?”
“Lim Yoona!”
“Shut up, bastard!”
Secara tidak terduga kalimat kasar itu terlontar begitu saja dari bibir Yoona, membuat Donghae bungkam dan tidak bisa mengatakan apa-apa ketika sorot mata tajam Yoona kembali Donghae dapatkan. Ekspresi Yoona terlihat begitu marah seiring dengan deru nafasnya yang terlihat tidak beraturan. Donghae tahu, kini gadis itu pastilah benar-benar marah besar padanya.
“Kau mengatakan itu salahku? Hanya karena dia begitu menyukai hal-hal sialan seperti itu bukan berarti ucapanku yang menyebabkan kemarahannya. Aku juga berhak marah, Lee Donghae. Aku tidak pernah menyukai seni, jadi jangan salahkan aku jika pendapatku telah memancing emosinya.”
“Dan lagipula, seharusnya dari awal kau mengatakan padanya agar tidak memberikan latte art dalam minumanku. Jadi, apakah kau masih berfikir jika semua ini murni kesalahanku? Kau berbicara seolah-olah aku ini adalah orang yang senang mencari masalah dengan oranglain.”
Tidak ada yang dilakukan oleh Donghae kecuali diam di tempatnya. Bahkan ketika Yoona kembali melangkahkan kakinya, Donghae hanya mampu menghela napas sembari memandangi punggung Yoona yang berbalutkan sebuah mantel tebal bulu berwarna putih, senada dengan warna salju yang turun. Donghae diam bukan karena dia tidak berani untuk beradu argumen dengan Yoona. Namun, saat ini bukanlah saat yang tepat mengingat dinginnya udara yang bahkan mampu membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Karena itulah, Donghae tidak ingin membiarkan Yoona terlalu lama berada di luar. Tentu saja, ia mengkhawatirkan kondisi Yoona.
**
Kaca bening yang ada di hadapan Siwon seolah menjadi penghubung baginya untuk melihat setiap adegan demi adegan dari apa yang terjadi di luar café-nya. Setelah Donghae memutuskan untuk keluar mengejar gadis yang semula bersama sabahatnya itu, pandangan mata Siwon tidak bisa lepas dari keduanya. Dengan ekspresi datarnya, Siwon hanya memperhatikan setiap gerak-gerik perempuan itu dalam diam.
Saat perempuan yang belum ia ketahui namanya itu menjauh dari Donghae, yang dilakukannya adalah mengehela napas kemudian memutuskan untuk beranjak menuju ruangannya. Ia merasa tidak dalam mood yang baik untuk saat ini. Jika sudah begitu, ia benar-benar malas untuk mengerjakan segala sesuatunya.
Baru tiga langkah ia berjalan, tiba-tiba Siwon merasakan pusing yang teramat. Siwon mengerang kecil, merasakan kepalanya yang kini terasa berdenyut. Dengan ia segera meraih kursi yang ada di sisi kanannya dan duduk di sana, masih dengan memegangi kepalanya yang bahkan terasa semakin berdenyut.
“Jiwon!”
Merasa namanya dipanggil Jiwon segera menolehkan kepalanya kemudian mengedarkan pandangannya, berusaha mencari dari mana arah datangnya sumber suara. Saat melihat Siwon yang terlihat kesakitan duduk di salah satu meja pengunjung yang tidak jauh dari tempatnya, Jiwon terkejut.
“Siwon!”
Jiwon kemudian berseru ketika melihat tubuh sang kakak yang telah terjatuh tak sadarkan diri di lantai marmer café yang begitu dingin. Jiwon dapat melihat dengan jelas para pengujung yang tampak terkejut sekaligus khawatir melihat apa yang juga dilihatnya barusan. Tanpa memikirkan hal lain lagi, Jiwon lantas menjatuhkan sendok kayu yang dipegangnya kemudian segera berlari menghampiri tubuh kakaknya.
“Zico! Alex! Tolong bawa kakakku ke ruangannya.”
Jiwon tidak dapat menyembunyikan ekspresi khawatirnya yang begitu dalam. Bagaimana mungkin dirinya tidak merasakan khawatir yang teramat ketika tubuh Siwon jatuh tak sadarkan diri? Tentu hal itu terlalu mengejutkan baginya mengetahui kondisi kakaknya yang semula terlihat baik-baik saja. Jika sudah seperti ini, kepribadian kakaknya yang dingin, egois, dan arrogant tentu akan lenyap begitu saja.
**
Begitu banyak keringat yang bercucuran membasahi wajah tampan sang kakak, membuat Jiwon akhirnya merasa semakin khawatir melihat kondisi kakaknya. Kepalanya bergerak tak beraturan dan bibirnya terlihat bergetar. Melihat kondisi kakaknya yang seperti itu, Jiwon yakin jika kakaknya itu tengah memimpikan sesuatu yang buruk–lagi. Entah apa itu, Jiwon tidak tahu karena Siwon sama sekali tidak pernah terbuka padanya. Jiwon menggenggam erat tangan Siwon, berharap dengan cara seperti itu keadaan Siwon akan menjadi lebih baik dari sebelumnya
“Hei, kemarilah!”
“Apa yang sedang kau lihat? Hm?”
“Sampai kapan kau akan mengikutiku terus? Apa kau tidak ada teman lain?”
“Kau hanya tidak mengerti maksudku, Siwon.”
“Bisakah aku ikut denganmu?”
“Ibu, ayo pergi menyusulnya. Ibu tahu ke mana paman itu membawanya,’kan?”
“Ibu aku ingin ikut dengannya!”
“Ibu! Ibu! Aku hanya ingin berteman dengannya! Ikuti dia, ibu.”
Jiwon terkejut saat Siwon tiba-tiba terbangun dan langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Dan lagi, Jiwon semakin terkejut manakala secara tidak sengaja tatapannya bertemu dengan kedua manik mata sang kakak yang entah mengapa terlihat begitu sedih dan putus asa. Selama beberapa saat mereka saling berpandangan sebelum akhirnya Siwon buru-buru memalingkan wajahnya kemudian kembali menatap Jiwon dengan ekspresi datar seperti biasanya.
“Kenapa menatapku seperti itu? Kau menakutkan!.”
Diam selama beberapa detik, Jiwon kemudian menangis dan memukuli bahu Siwon dengan kencang dan bertubi-tubi. “Kau bodoh! Kakak benar-benar orang yang bodoh! Ini semua karena aku mengkhawatirkanmu! Kau tidak tahu,’kan bagaimana khawatirnya aku ketika melihatmu jatuh di lantai yang dingin itu? Kau juga tidak tahu jika aku ketakutan ketika melihatmu bermandikan keringat,’kan?”
Tangisan Jiwon semakin mengencang seiring dengan pukulannya pada bahu Siwon yang perlahan berkurang. Lelaki itu masih saja memandang sang adik dengan ekspresi datarnya. Bahkan ketika Jiwon mulai memeluk tubuhnya dan menangis sesegukkan, Siwon tetaplah diam tanpa melakukan apa-apa.
**
Ruang tamu yang sejatinya adalah tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga untuk menikmati hidangan sekaligus sebagai media untuk menciptakan rumah tangga yang harmonis itu justru terlihat begitu sepi. Seorang wanita paruh baya tengah menikmati makanannnya seorang diri dan hanya ditemani oleh beberapa orang pelayan dan penjaga keamanan yang ada di rumah tersebut.
“Mulai besok ketika aku sedang menikmati makananku, putarkanlah lagu untukku. Aku merasa seolah aku hidup sendiri jika terus-menerus seperti ini.”
Wanita itu kemudian bangkit berdiri, berjalan menuju ruangannya diikuti oleh seorang pria paruh baya yang berjalan di belakangnya. Kerutan dan garis di wajahnya melambangkan jika usianya sudah tidak muda lagi. Namun tetap saja, sosoknya masih-lah terlihat begitu anggun.
“Hari ini nona muda sepertinya memiliki urusan penting bersama Lee Donghae, presdir.”
Secara spontan wanita itu menghembuskan napasnya, perasaan putus asa kembali menghinggapinya dan entah ini sudah yang keberapa kali dirinya merasakan hal seperti ini.
“Dia memang tidak ingin lagi menemuiku.”
“Mungkin nona muda memang memiliki urusan yang begitu penting dengan Donghae hingga beliau tidak bisa menemui anda untuk saat ini. Besok saya akan menemuinya kembali dan meminta nona muda untuk bertemu dengan anda. Tapi jika–”
“Sekretaris Kim! Apa kau tidak mengerti sama sekali?! Dia marah dan mungkin saja dia memang benar-benar membenciku. Adalah adalah salah satu alasan mengapa dia memilih untuk menyembunyikan semua ingatan di masa lalunya.”
Wanita paruh baya itu memandang sekretaris Kim dengan raut wajah yang terlihat begitu kesal sekaligus sedih. Lututnya terasa lemas dan deru nafasnya terdengar berat. Perlahan namun pasti wanita itu akhirnya duduk kembali di kursinya, memejamkan matanya selama beberapa saat sebelum akhirnya ia mengisyaratkan sekretaris Kim untuk keluar dari ruangannya.
**
Yoona mengendarai mobil sekelas Bentley Continental GT dengan kecepatan sedang, membelah jalanan Seoul yang terlihat cukup sepi. Salju tebal telah menutupi jalanan di sepanjang kota Seoul sejak beberapa hari yang lalu dan kondisi seperti ini semakin diperparah dengan tingginya suhu udara sehingga membuat penduduk Seoul akan berpikir dua kali untuk keluar dari rumahnya.
Tatapan mata Yoona terlihat kosong. Manik matanya fokus memandangi jalanan Seoul dengan raut wajah yang dingin dan datar seperti sebelumnya. Gadis itu terlihat baik-baik saja namun cengkraman tangannya pada kemudi mobil begitu menunjukkan jika ia masih menyimpan perasaan kesalnya akibat pertengkarannya bersama Donghae beberapa saat yang lalu.
“Lagipula, bukankah itu salahmu sendiri? Wajar jika seorang Choi Siwon marah karena pendapatmu mengenai gambar-gambar itu. Baginya, gambar-gambar itu bukan hanya sekedar gambar yang memuakkan. Dan juga, dia adalah pria yang begitu menyukai seni, Yoona.”
Yoona segera menepikan mobilnya ketika secara tiba-tiba percakapannya bersama Donghae kembali diingatnya. Yoona dapat mengingat dengan jelas jika nama yang disebut oleh sahabatnya itu adalah Choi Siwon. Itu artinya, sudah bisa dipastikan jika barista laki-laki berhati dingin yang sempat berseteru degannya di café adalah salah satu orang yang harus dihindarinya.
Dengan perlahan Yoona mengulurkan tangan kanannya, mengambil selembar foto yang selalu ia simpan di dalam dashboard mobil miliknya. Foto yang menggambarkan dua sosok anak kecil yang tersenyum sambil berbaring di padang rumput yang membentang luas. Ekspresi keduanya terlihat begitu polos dan mimik wajah mereka yang terlihat tidak memiliki beban sama sekali.
Ketika tangan Yoona bergerak membalikkan selembar foto itu, nama Choi Siwon telah tertulis dengan jelas di sana. Yoona tersenyum hambar dan memandangi nama lelaki itu dengan rasa benci yang teramat.
“Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu. Tapi kau harus tahu jika pada akhirnya aku telah bertemu dengan seseorang yang membuatmu tetap bertahan untuk tinggal di dunia ini. Calistha, sekarang aku merasa penasaran. Apakah kau akan tetap bertahan bahkan ketika aku menghilangkannya dari dunia ini?”
Yoona merobek selembar foto itu hingga menjadi potongan-potongan kecil yang tidak berbentuk. Tidak lama kemudian ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari mobil dan berjalan di atas trotoar jembatan. Ia berjalan beberapa langkah dari mobilnya. Sebuah senyum hambar itu kembali terukir di bibirnya manakala secara perlahan tangannya bergerak membiarkan potongan foto itu jatuh menuju aliran sungai di bawah jembatan. Yoona menatap lurus ke depan dan membiarkan potongan foto itu terbang dipandu hujan angin dari putihnya salju yang turun.
08 Tuesday Dec 2015
Posted FANFICTION
in≈ Enter your password to view comments.