Tags

, , , ,


COVER FF-BEYOND RECOLLECTION

[GG] Lim Yoona & [SJ] Choi Siwon

Genre : Drama, Mystery, Romance | Rating : Parent Guidance | Length :  1,6k.

© 2015 Dhiah MeyLiana

―――――

 

Ada sebuah masa di mana,

dia akan mengingat semua hal yang telah lama dilupakannya..

Memori ingatannya akan berputar dengan sendirinya.

Bagaikan sebuah film dokumentar yang sengaja terlupakan.

 

 

Saat di mana hari itu datang,

akankah dia akan menerimanya?

Bahkan ketika kenangan itu akan membuatnya sakit,

akankah dia berani untuk menghadapinya?

 

Ketika fikirannya mengatakan ia tidak sanggup,

maka aku harus tetap berdiri di sampingnya.

Menopangnya ketika dia akan jatuh.

 

Hingga suatu masa, pada akhirnya aku akan pergi,

ketika aku merasa dia telah mampu untuk mengatasi yang dideritanya.

 

 

BAB II

THE LOST MEMORY

 

 

Donghae berusaha mengejar Yoona, langkah gadis itu terlalu cepat hingga membuat Donghae harus terpaksa berlari kecil untuk menyamakan langkahnya dengan gadis berambut blonde tersebut. Jika saja Yoona tidak memutuskan untuk pergi meninggalkan café mungkin Donghae masih setia duduk manis di kursinya sembari menyesap cappuccino miliknya.

“Hei, tidakkah ucapanmu tadi cukup kasar?”

“Lagipula, bukankah itu salahmu sendiri? Wajar jika seorang Choi Siwon marah karena pendapatmu mengenai gambar-gambar itu. Baginya, gambar-gambar itu bukan hanya sekedar gambar yang memuakkan. Dan juga, dia adalah pria yang begitu menyukai seni, Yoona.”

“Yoona, apa kau ingin mengabaikanku begitu saja?”

“Oh, ayolah! Karena kau salah bukan berarti aku menyalahkanmu juga. Aku hanya mengatakan sesuatu yang harusnya kukatakan padamu. Aku hanya takut kau akan terkena masalah jika terus menerus seperti ini.”

“Yoona?”

“Lim Yoona!”

“Shut up, bastard!”

Secara tidak terduga kalimat kasar itu terlontar begitu saja dari bibir Yoona, membuat Donghae bungkam dan tidak bisa mengatakan apa-apa ketika sorot mata tajam Yoona kembali Donghae dapatkan. Ekspresi Yoona terlihat begitu marah seiring dengan deru nafasnya yang terlihat tidak beraturan. Donghae tahu, kini gadis itu pastilah benar-benar marah besar padanya.

“Kau mengatakan itu salahku? Hanya karena dia begitu menyukai hal-hal sialan seperti itu bukan berarti ucapanku yang menyebabkan kemarahannya. Aku juga berhak marah, Lee Donghae. Aku tidak pernah menyukai seni, jadi jangan salahkan aku jika pendapatku telah memancing emosinya.”

“Dan lagipula, seharusnya dari awal kau mengatakan padanya agar tidak memberikan latte art dalam minumanku. Jadi, apakah kau masih berfikir jika semua ini murni kesalahanku? Kau berbicara seolah-olah aku ini adalah orang yang senang mencari masalah dengan oranglain.”

Tidak ada yang dilakukan oleh Donghae kecuali diam di tempatnya. Bahkan ketika Yoona kembali melangkahkan kakinya, Donghae hanya mampu menghela napas sembari memandangi punggung Yoona yang berbalutkan sebuah mantel tebal bulu berwarna putih, senada dengan warna salju yang turun. Donghae diam bukan karena dia tidak berani untuk beradu argumen dengan Yoona. Namun, saat ini bukanlah saat yang tepat mengingat dinginnya udara yang bahkan mampu membuat seluruh tubuhnya terasa ngilu. Karena itulah, Donghae tidak ingin membiarkan Yoona terlalu lama berada di luar. Tentu saja, ia mengkhawatirkan kondisi Yoona.

**

Kaca bening yang ada di hadapan Siwon seolah menjadi penghubung baginya untuk melihat setiap adegan demi adegan dari apa yang terjadi di luar café-nya. Setelah Donghae memutuskan untuk keluar mengejar gadis yang semula bersama sabahatnya itu, pandangan mata Siwon tidak bisa lepas dari keduanya. Dengan ekspresi datarnya, Siwon hanya memperhatikan setiap gerak-gerik perempuan itu dalam diam.

Saat perempuan yang belum ia ketahui namanya itu menjauh dari Donghae, yang dilakukannya adalah mengehela napas kemudian memutuskan untuk beranjak menuju ruangannya. Ia merasa tidak dalam mood yang baik untuk saat ini. Jika sudah begitu, ia benar-benar malas untuk mengerjakan segala sesuatunya.

Baru tiga langkah ia berjalan, tiba-tiba Siwon merasakan pusing yang teramat. Siwon mengerang kecil, merasakan kepalanya yang kini terasa berdenyut. Dengan ia segera meraih kursi yang ada di sisi kanannya dan duduk di sana, masih dengan memegangi kepalanya yang bahkan terasa semakin berdenyut.

“Jiwon!”

Merasa namanya dipanggil Jiwon segera menolehkan kepalanya kemudian mengedarkan pandangannya, berusaha mencari dari mana arah datangnya sumber suara. Saat melihat Siwon yang terlihat kesakitan duduk di salah satu meja pengunjung yang tidak jauh dari tempatnya, Jiwon terkejut.

“Siwon!”

Jiwon kemudian berseru ketika melihat tubuh sang kakak yang telah terjatuh tak sadarkan diri di lantai marmer café yang begitu dingin. Jiwon dapat melihat dengan jelas para pengujung yang tampak terkejut sekaligus khawatir melihat apa yang juga dilihatnya barusan. Tanpa memikirkan hal lain lagi, Jiwon lantas menjatuhkan sendok kayu yang dipegangnya kemudian segera berlari menghampiri tubuh kakaknya.

“Zico! Alex! Tolong bawa kakakku ke ruangannya.”

Jiwon tidak dapat menyembunyikan ekspresi khawatirnya yang begitu dalam. Bagaimana mungkin dirinya tidak merasakan khawatir yang teramat ketika tubuh Siwon jatuh tak sadarkan diri? Tentu hal itu terlalu mengejutkan baginya mengetahui kondisi kakaknya yang semula terlihat baik-baik saja. Jika sudah seperti ini, kepribadian kakaknya yang dingin, egois, dan arrogant tentu akan lenyap begitu saja.

**

Begitu banyak keringat yang bercucuran membasahi wajah tampan sang kakak, membuat Jiwon akhirnya merasa semakin khawatir melihat kondisi kakaknya. Kepalanya bergerak tak beraturan dan bibirnya terlihat bergetar. Melihat kondisi kakaknya yang seperti itu, Jiwon yakin jika kakaknya itu tengah memimpikan sesuatu yang buruk–lagi. Entah apa itu, Jiwon tidak tahu karena Siwon sama sekali tidak pernah terbuka padanya. Jiwon menggenggam erat tangan Siwon, berharap dengan cara seperti itu keadaan Siwon akan menjadi lebih baik dari sebelumnya

“Hei, kemarilah!”

 

“Apa yang sedang kau lihat? Hm?”

 

 

 

“Sampai kapan kau akan mengikutiku terus? Apa kau tidak ada teman lain?”

 

“Kau hanya tidak mengerti maksudku, Siwon.”

 

 

“Bisakah aku ikut denganmu?”

 

 

“Ibu, ayo pergi menyusulnya. Ibu tahu ke mana paman itu membawanya,’kan?”

 

“Ibu aku ingin ikut dengannya!”

 

“Ibu! Ibu! Aku hanya ingin berteman dengannya! Ikuti dia, ibu.”

 

 

Jiwon terkejut saat Siwon tiba-tiba terbangun dan langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Dan lagi, Jiwon semakin terkejut manakala secara tidak sengaja tatapannya bertemu dengan kedua manik mata sang kakak yang entah mengapa terlihat begitu sedih dan putus asa. Selama beberapa saat mereka saling berpandangan sebelum akhirnya Siwon buru-buru memalingkan wajahnya kemudian kembali menatap Jiwon dengan ekspresi datar seperti biasanya.

“Kenapa menatapku seperti itu? Kau menakutkan!.”

Diam selama beberapa detik, Jiwon kemudian menangis dan memukuli bahu Siwon dengan kencang dan bertubi-tubi. “Kau bodoh! Kakak benar-benar orang yang bodoh! Ini semua karena aku mengkhawatirkanmu! Kau tidak tahu,’kan bagaimana khawatirnya aku ketika melihatmu jatuh di lantai yang dingin itu? Kau juga tidak tahu jika aku ketakutan ketika melihatmu bermandikan keringat,’kan?”

Tangisan Jiwon semakin mengencang seiring dengan pukulannya pada bahu Siwon yang perlahan berkurang. Lelaki itu masih saja memandang sang adik dengan ekspresi datarnya. Bahkan ketika Jiwon mulai memeluk tubuhnya dan menangis sesegukkan, Siwon tetaplah diam tanpa melakukan apa-apa.

**

Ruang tamu yang sejatinya adalah tempat berkumpulnya seluruh anggota keluarga untuk menikmati hidangan sekaligus sebagai media untuk menciptakan rumah tangga yang harmonis itu justru terlihat begitu sepi. Seorang wanita paruh baya tengah menikmati makanannnya seorang diri dan hanya ditemani oleh beberapa orang pelayan dan penjaga keamanan yang ada di rumah tersebut.

“Mulai besok ketika aku sedang menikmati makananku, putarkanlah lagu untukku. Aku merasa seolah aku hidup sendiri jika terus-menerus seperti ini.”

Wanita itu kemudian bangkit berdiri, berjalan menuju ruangannya diikuti oleh seorang pria paruh baya yang berjalan di belakangnya. Kerutan dan garis di wajahnya melambangkan jika usianya sudah tidak muda lagi. Namun tetap saja, sosoknya masih-lah terlihat begitu anggun.

“Hari ini nona muda sepertinya memiliki urusan penting bersama Lee Donghae, presdir.”

Secara spontan wanita itu menghembuskan napasnya, perasaan putus asa kembali menghinggapinya dan entah ini sudah yang keberapa kali dirinya merasakan hal seperti ini.

“Dia memang tidak ingin lagi menemuiku.”

“Mungkin nona muda memang memiliki urusan yang begitu penting dengan Donghae hingga beliau tidak bisa menemui anda untuk saat ini. Besok saya akan menemuinya kembali dan meminta nona muda untuk bertemu dengan anda.  Tapi jika–”

“Sekretaris Kim! Apa kau tidak mengerti sama sekali?! Dia marah dan mungkin saja dia memang benar-benar membenciku. Adalah adalah salah satu alasan mengapa dia memilih untuk menyembunyikan semua ingatan di masa lalunya.”

Wanita paruh baya itu memandang sekretaris Kim dengan raut wajah yang terlihat begitu kesal sekaligus sedih. Lututnya terasa lemas dan deru nafasnya terdengar berat. Perlahan namun pasti wanita itu akhirnya duduk kembali di kursinya, memejamkan matanya selama beberapa saat sebelum akhirnya ia mengisyaratkan sekretaris Kim untuk keluar dari ruangannya.

**

Yoona mengendarai mobil sekelas Bentley Continental GT dengan kecepatan sedang, membelah jalanan Seoul yang terlihat cukup sepi. Salju tebal telah menutupi  jalanan di sepanjang kota Seoul sejak beberapa hari yang lalu dan kondisi seperti ini semakin diperparah dengan tingginya suhu udara sehingga membuat penduduk Seoul akan berpikir dua kali untuk keluar dari rumahnya.

Tatapan mata  Yoona terlihat kosong. Manik matanya fokus memandangi jalanan Seoul dengan raut wajah yang dingin dan datar seperti sebelumnya. Gadis itu terlihat baik-baik saja namun cengkraman tangannya pada kemudi mobil begitu menunjukkan jika ia masih menyimpan perasaan kesalnya akibat pertengkarannya bersama Donghae beberapa saat yang lalu.

“Lagipula, bukankah itu salahmu sendiri? Wajar jika seorang Choi Siwon marah karena pendapatmu mengenai gambar-gambar itu. Baginya, gambar-gambar itu bukan hanya sekedar gambar yang memuakkan. Dan juga, dia adalah pria yang begitu menyukai seni, Yoona.”

Yoona segera menepikan mobilnya ketika secara tiba-tiba percakapannya bersama Donghae kembali diingatnya. Yoona dapat mengingat dengan jelas jika nama yang disebut oleh sahabatnya itu adalah Choi Siwon. Itu artinya, sudah bisa dipastikan jika barista laki-laki berhati dingin yang sempat berseteru degannya di café adalah salah satu orang yang harus dihindarinya.

Dengan perlahan Yoona mengulurkan tangan kanannya, mengambil selembar foto yang selalu ia simpan di dalam dashboard mobil miliknya. Foto yang menggambarkan dua sosok anak kecil yang tersenyum sambil berbaring di padang rumput yang membentang luas. Ekspresi keduanya terlihat begitu polos dan mimik wajah mereka yang terlihat tidak memiliki beban sama sekali.

Ketika tangan Yoona bergerak membalikkan selembar foto itu, nama Choi Siwon telah tertulis dengan jelas di sana. Yoona tersenyum hambar dan memandangi nama lelaki itu dengan rasa benci yang teramat.

“Aku tidak tahu harus mengatakan apa padamu. Tapi kau harus tahu jika pada akhirnya aku telah bertemu dengan seseorang yang membuatmu tetap bertahan untuk tinggal di dunia ini. Calistha, sekarang aku merasa penasaran. Apakah kau akan tetap bertahan bahkan ketika aku menghilangkannya dari dunia ini?”

Yoona merobek selembar foto itu hingga menjadi potongan-potongan kecil yang tidak berbentuk. Tidak lama kemudian ia akhirnya memutuskan untuk keluar dari mobil dan berjalan di atas trotoar jembatan. Ia berjalan beberapa langkah dari mobilnya. Sebuah senyum hambar itu kembali terukir di bibirnya manakala secara perlahan tangannya bergerak membiarkan potongan foto itu jatuh menuju aliran sungai di bawah  jembatan. Yoona menatap lurus ke depan dan  membiarkan potongan foto itu terbang dipandu hujan angin dari putihnya salju yang turun.